Rabu, 11 November 2009

KELAHIRAN TANPA CINTA

Sudah sepekan aku menjadi gelisah karena aku tak tau apa yang harus aku lakukan. Ini kisah seorang manusia yang terpedaya tak berdaya karena sihir dan mantra yang tanpa sadar masuk dalam jiwa yang bodoh.

Dulu aku mengenal Rastam sebagai seorang pemuda yang sederhana dan lugu. Bahkan ia jarang bergaul dengan dunia luar. Mungkin karena dia tak suka dengan hingar bingar suasana anyir gaya hidup yang berlebihan. Aku pun tak mengenalnya dengan baik.

Sebenarnya wajah dan perawaknannya lumayan gagah dan rupawan. Namun karena kerasnya hidup, maka ia pun tak sempat mengurus diri. Maka ketika manusia dihadapkan dengan kemiskinan hanya pangan yang mereka pikirkan. Meski tak semuanya demikian.
Padahal anak muda sepantarannya sudah banyak bergamam dengan gaya hidup yang semakin modern. Bahkan anak tetangganya pun sudah menenteng HaPe, sebuah alat komunikasi praktis, padahal jika dipikr dengan akal sehat untuk membiayai sekolah saudara sepantarannyapun bapaknya kewalahan. Dasar anak tetangganya itu tak punya perasaan dan belas kasih sama bapaknya itu.

Sampai pada akhirnya tak sengaja aku merasa sedang diperhatikan seseorang dari balikpintu. Saat itu aku sedang menyisir rambutku yang kusut karena percampuran air dan shampo. Rambutku yang panjang sepinggang terurai tak rapi. Sungguh berbeda apa yang ditayangkan di televisi tentang iklan shampo itu. Dia tampak curi-curi pandang memperhatikanku, seolah-olah ingin menelanjangiku dengan sorotan matanya. Aku bisa mengatakan itu karena posisiku yang memang tak jauh dari dia. Lalu akupun penasaran dan memang risih rasanya. Maka saat aku melihatnya sekilas saja… “hah… Rastam…” dalam hati aku berkata, kaget… banget..nget..nget,,,, rasanya seperti disambar petir. Pemuda yang jarang berbicara itu ternyata sudah sering mengamatiku. Kerena saat aku kaget ibuku berkata “ kenapa nak?” kataku “aku kaget mak… Rastam mencuri pandang padaku” lalu ibuku bilang “ mak juga sering melihat Rastam memeperhatikanmu…dan setiap kepergok emak… dia lalu senyum sama emak…”

Berani benar dia. Padahal menyapaku aja jarang bahkan tidak pernah. Kebetulan rumahku dan rumahnya tidak begitu jauh malah bisa dibilang dekat hanya terhalang dua rumah. Karena memang polanya perkampungan. Aku dengan Rastam sebenarnya sama-sama orang sini asli. Umurku dengan dia hanya terpaut satu tahun. Aku 19 dia 20 tahun. Saat kecil tak ada kenangan bersamanya. Padahal dulu Rastam termasuk anak yang supel dan banyak teman. Namun setelah kematian Ibunya dia berubah menjadi orang yang pendiam dan jarang bergaul dengan teman-teman sebayanya. Hatinya sangat terpukul ketika mendengar kematian Ibunya dari seorang temannya yang bernama Joko. Joko berlarian dengan separuh nafas karena tidak sabar memberikan kabar kematian Ibunya Rastam. Saat itu Rastam sedang membantu ayahnya di sawah. Hati Rastam pun terluka sedalam-dalamnya. Raut mukanya begitu sakit, lemas dan tak karauan rasanya. Saat itu akupun sedang berada diladang yang tak jauh darinya. Tapi Rastam tak mengluarkan air mata sedikitpun. Tampaknya dia tak mau menunjukan kesedihan dihadapan bapaknya. Namun aku yakin jauh didalam hatinya persaannya terkoyak dan kacau. Sejak saat itu Rastam berubah dan aku tak pernah lagi saling menyapa dengannya.

***************
Waktu berlalu aku dan Rastam pun beranjak dewasa… kita bertetangga namun tak begitu akrab. Aku dengar Rastam sekarang bekerja di sebuah pabrik kayu khusus pemotongan kayu-kayu besar yang tak jauh dari perkampungan kami. Ini dia tempuh Karena tak mau jauh dari rumah. Bapaknya sedang terbaring sakit-sakitan karena usianya. Pernah suatu saat aku berpapasan dengannya dan dia senyum ramah padaku. Aku pun membalas senyumnya. Tak ada tanda-tanda dia menyukaiku sampai akhirnya dia datang menemuiku malam hari dengan membawa sepucuk surat. Tatapannya penuh ambisi. Dan membuatku takluk. Dia hanya berkata “aku mohon untuk dibaca dengan hatimu…..” aku tak sanggup berkata apa-apa. Rastam beranjak pergi meninggalkan tatapannya. Lalu…
Cepat-cepat aku tutup pintu,kemudian pintu kamar ku tutup tapi tak begitu rapat… suaratnya berwarna coklat kantung semen… dan tampak rapi, seperti sudah direncanakan dengan matang. Dengan rasa penasaran aku pun membukanya…
“teruntuk Men’Tari ‘ku…..
Tari… maafkan aku kalau aku terlalu lancang dan mengagetkanmu dengan kedatanganku bersama suratku. Tiga hari ini, aku merasakan perasaan yang tak biasa sehingga resah hati ini…sebelumnya tak pernah aku ingin jujur pada diriku sendiri. Tapi semakin dipendam, semakin tersiksa dalam anganku. Begini Tari,,,setelah aku tanyakan pada sahabatku satu-satunya Joko, katanya aku sedang mengidap romantisme remaja yang sentimentil. Aku sedang jatuh cinta katanya. Dan semalam aku renungkan, tampaknya perkataan Joko ada benarnya,,, aku sedang jatuh cinta pada Men’Tari’ku. Ya… kamu… Tari…
Maafkan…aku… jika aku mnyulitknmu dengan perkataanku diatas….
Sekian…
Kiranya kamu dapat mengerti aku….
Tetanggamu

Rastam

Tanpa sadar aku remas kertas surat darinya. Sungguh aku tak ingin ini terjadi padaku atau melibatkan kisah cintanya denganku… aku tak menyukainya… bahkan tak mencintainya… bukan karena apa-apa tapi tidak ada perasaan apa-apa dengannya. Dan tak ingin ada perasaan apa-apa dengannya. Ini tidak baik… ini tidak benar… aku tak ingin berlanjut… aku harus menghentikannya,,,,, tapi aku tak enak untuk menolaknya…. Kasihan dia… tapi aku ndak suka….bagaimana ini?

Keesokan harinya aku memberanikan diri menemui Rastam… demi kebaikan kita bersama…ini harus aku lakukan. Lalu aku berjalan… menemuinya dirumah.. bisanya sore begini dia sedang berada dirumah. Aku ketok.. rumahnya, “Rastam….Rastam…….” tak muncul juga dia rupanya.. malah bapaknya yang terlihat lemas yang membukakan pintu untukku. “rastam… sedang pergi.. tadi dia pamit mau ke ladang sebentar,,, “. O…. makasih pak…” kataku. Langsung aku lanjutkan pencarianku ke ladang… yah.. disana ruapanya kamu.. Rastam….
“Rastam…..!!!” dia langsung menatap kearahku senang. Aku pun mendekatinya. “ aku mau ngomong sama kamu”. Dia menatapku tajam dan kaget. “ iya Tari.. ada apa?”. “ maafkan aku juga Rastam… maaf aku tidak bisa menerima persaanmu padaku… aku tidak mencintaimu…” lalu Rastam berkomentar” tapi kan bisa di coba….” Nggak Rastam…aku nggak bisa… kamu harus ngertiin aku, kamu nggak bisa egois..”. Rastam hanya bisa diam… dan mungkin mencoba mengerti perasaanku.

Semenjak pertemuan itu,,,, Rastam menjadi berbeda denganku… senyumnya tak lagi dia sertakan ketika melihatku. Dia menunjukan ketidaksengangannya padaku, marah, benci bercampur jadi satu.

**************************
*******
“emak….mak……..sakit mak…..” badanku rasanya seperti sedang mriang yang nggak ketulungan rasanya. Nggreges… panas dingin….” Mak, aku sakit…” bersamaan dengan itu sudah lama aku tidak bertemu Rastam. Masih aku ingat-ingat apa aku terlalu cape sampai mriang begini. Sepertinya aku juga nggak ngoyo-ngoyo banget. Tapi anehnya… aku selalu ingat raut muka Rastam dalam lamunku dan diamku,,, dia selalu ada disetiap detiknya. Apa ini?.
Sampai akhirnya aku pun bertemu dengannya lagi. Dia tampak ramah padaku… aku pun tergoda oleh rayuannya,,, dia baik sekali… dan separoh perasaan ini ada padanya. Singkat cerita… Rastam mengajakku berpacaran… dan setelah sekian bulan tak sampai hitungan tahun… aku pun dilamar Rastam.. menjadi istrinya. Ibuku yang tau betul perasannku sejak awal dengan Rastam pun tak banyak berkata, beliau hanya berkata” kalau kamu yakin ya… sudah”.

Pernikahan pun berlangsung… separuh dalam hatiku bahagia dengannya tapi anehnya jiwa ini seperti enggan….. Dan akhirnya tubuh ini bebadan dua. Aku hamil… tapi bersamaan dengan itu, aku juga baru sadar kalau selama ini aku di pelet………

Saat itulah jiwaku terguncang… kehamilanku tak aku hiraukan… dalam keadaan setengah sadar aku hanya bisa terdiam dan termenung… bahkan terkadang berteriak tanpa alasan yang jelas. Semua orang bingung dengan sikapku ini, akhirnya Rastam pun mengakui kesalahannya kalau dia “memelet aku” keluarga semua geram dengan sikapnya, namun apa mau dikata, aku sedang mengandung anaknya. Takut mengganggu kehamilanku keluarga menghentikan pertikaian itu meski masih ada rasa kecewa yang dalam. Begitu juga dengan Rastam katanya dia sedih dengan keadaanku dan sangat menyesali perbuatnnya. Sempat ia menangisi ini semua. Dia memaksakan cintanya padaku. Tapi dia benar-benar sayang padaku…

Anak Rastam pun lahir…

Tapi… sampai dia lahir aku tak ingin melihatnya, aku merasa jijik dengan anak manusia itu… sekali lagi Rastam hanya bisa menangis… hingga saat anak Rastam dewasa… Tari … hanya sedikit sadar…

By: Desy Puspitasari (Ecy)
Pwt, 8 November 2009